Alarm gadget meraung-raung keras hingga menembus dinding kamar. Pertanda 15 menit lagi, Live KBK akan dimulai di telegrup KBK. 

Meski waktu menunjukkan pukul 13.45, panas matahari terasa membakar hingga ubun-ubun bagaikan di tengah hari. Perlahan keringat menetes dari dahi, juga leher. Lalu lalang kendaraan pun tidak seramai tadi pagi. Hal yang paling nyaman dalam kondisi seperti ini adalah tidur siang, di kasur yang empuk, ditemani semilir angin kipas. Menyenangkan. 

Namun, meski dipan kasur kamar menggoda, saya dan teman-teman KBK memilih untuk segera bertemu di telegrup. Membayangkan kami bercanda, bercengkerama, saling berbagi cerita dan pengalaman dengan buku. 

Kali ini, ada Kak Wika yang akan bercerita tentang memoar yang ditulis Matthew Perry, lalu Kak Sari yang berkisah tentang buku nonfiksi yang akan membuat kita berpikir kritis, kemudian Teh Shanty yang penuh semangat berbagi buku tentang kehidupan penulis, dan Kak Alfi yang mengulas buku fiksi dengan diksi yang memikat. 

***

Kisah Hidup Matthew Perry

KBK siang itu diawali oleh Kak Wika yang mengulas buku Memoar Matthew Perry yang berjudul Friends, Lovers, and the Big Terrible Thing. Kak Wika mengawali ulasannya dengan cerita mengapa ia membeli buku ini, dilanjutkan dengan bagaimana perasaannya saat membaca prolog memoar tersebut.

Menurut Kak Wika, buku ini adalah memoar yang ditulis langsung oleh sang aktor. Buku ini menceritakan perjalanan jujur sang aktor di beberapa momen hidupnya yang telah membentuk karier dan kehidupan pribadinya, termasuk perjuangannya melawan kecanduan dan hidup di bawah sorotan. Matthew yang selama ini dikenal bertahun-tahun membuat dunia tertawa melalui perannya dalam Friends sebagai Chandler Bing, ternyata berjuang di belakang layar.

Buku ini tidak hanya bercerita tentang masa kelam, perjuangan melawan adiksi, dan perempuan-perempuan yang dekat dengan Matthew. Namun, ia juga menceritakan pencapaian-pencapaiannya selama berada di dunia industri perfilman. 

Tentang Memposisikan Kodrat

Setelah Kak Wika, ada juga Kak Sari yang dengan sangat detail menceritakan buku nonfiksi berjudul Memposisikan Kodrat

Buku ini terbit pada 1999, di era reformasi yang sedang gencar-gencarnya membahas tentang emansipasi serta hak-hak perempuan. Buku ini berisi 11 artikel dari 11 penulis dengan berbagai sudut pandang, seperti dari sisi fiqihnya dan sisi lainnya.

Kak Sari juga menjelaskan beberapa artikel yang membuatnya terkesan. Ia menyampaikan alasan-alasan yang membuatnya terkesan dengan sangat detail; sehingga memantik diskusi seru pada siang itu.

Mengupas Buku Yellowface 

Ada juga Teh Shanty yang siang menjelang sore berbagi sebuah buku fiksi berjudul Yellowface karya R. F. Kuang. Awalnya, Teh Shanty menyampaikan bagaimana ia bisa membeli buku tersebut, dan kemudian mengulas isi novel ini dengan perlahan.

Menurutnya, novel ini punya pesan tentang dunia kepenulisan dan penerbitan yang ternyata tidak seindah kelihatannya. Novel ini berkisah tentang seorang tokoh utama bernama June Hayward, seorang penulis kulit putih yang karirnya tidak begitu cemerlang; dan Athena Liu, temannya yang sebenarnya tidak dekat juga, disebut sebagai seorang penulis Asia-Amerika yang memiliki karier cemerlang. Ketika mereka bersama, secara tiba-tiba Athena Liu meninggal. Insiden tersebutlah yang kemudian membuka tabir-tabir yang tak terduga dan mampu membuat si pembaca terkesima. 

Menurut Teh Shanty, buku ini pantas mendapatkan rating tinggi karena pengemasan ceritanya yang memikat. Meski karakter-karakter dalam novel tersebut sangat kacau, bisa jadi kondisi itu sangat relate dengan apa yang dialami penulis-penulis selama ini.

The Memory Police,  Menceritakan Kenangan

Waktu mulai menunjukkan pukul 16.15 dan sinar matahari mulai berganti warna oranye. Sinarnya menyelusup di ventilasi dinding rumah, mengenai tangan saya. Teh Shanty pun menutup diskusi hangat siang itu dan Kak Alfi melanjutkannya. Buku yang dibagikan oleh Kak Alfi adalah sebuah novel karangan dari penulis Jepang bernama Yoko Ogawa berjudul The Memory Police yang berarti Polisi Kenangan. 

Kak Alfi mengisahkan bahwa novel ini sangat unik. Isi novel cukup memikat, meski ia kurang memahami betul diksi-diksi cantik yang tertulis. Namun, ia bisa merasakan rasa sedih dan  rasa takut yang ada di buku tersebut. 

Novel ini berisi tentang sebuah pulau tak bernama, tempat di mana kehilangan sesuatu merupakan hal yang “biasa” terjadi. Bagaimana kehilangan yang sejatinya bersifat lazim kemudian menjadi menakutkan. Ini lantaran kenangan akan terhapus pula bersama sesuatu yang hilang, menyiratkan bahwa mengingat-ingat adalah hal yang terlarang. Hal itu diatur serta ditegaskan oleh pasukan aparatur negara yang beroperasi. Peristiwa itu terus terjadi hingga ada salah satu tokoh yang sengaja menyembunyikan si editor demi mempertahankan kenangan dan menceritakannya ulang. 

Sebuah novel yang sebenarnya menyedihkan. Namun, disampaikan secara tersirat dengan diksi-diksi yang memikat sehingga membuat pembaca terpikat dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya

Meski Kak Alfi menyatakan novel ini bagus, sebagian dari teman-teman KBK menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk membaca hal-hal yang menyedihkan dan menakutkan.  

***

Satu per satu opini dikemukakan oleh teman-teman tentang buku-buku yang diulas hari itu, ada yang setuju, dan ada pula yang tidak setuju. Semua terasa menyenangkan. Kami berdebat, berdiskusi tentang buku dan penulis. Sayangnya waktu 3 jam tidaklah cukup. Banyak hal yang ingin disampaikan, tetapi waktu terus berjalan. Ruangan mulai gelap, pertanda KBK berakhir. Satu per satu kami berpamitan. Live KBK Mei telah berakhir, tetapi KBK akan selalu menjadi rumah untuk kami. Rumah untuk sekadar berbagi, tertawa, dan tempat pulang yang nyaman. Seperti kata Anna Quindlen yang dibagikan Minggu lalu oleh Kak Amie:
“Buku adalah pesawat, kereta, dan rute. Mereka adalah tujuan sekaligus perjalanan. Mereka adalah rumah.” 

***

Klipers dan sahabat Klip, jangan lupa untuk ikut juga KBK pada setiap Selasa pukul 14.00 WIB hingga selesai di telegrup KBK. Untuk edisi selanjutnya LIve KBK pada hari Selasa, 25 Juni 2024.


Editor: Windy Effendy