Kerinduan cerita buku, diskusi panjang dibarengi perasaan berdebar, penasaran, dan berjibun pertanyaan yang tiba-tiba menyerbu membuat saya selalu kangen Pertemuan Klub Buku Klip yang diadakan setiap sebulan sekali.
Seperti hari itu, Selasa minggu keempat, tanggal 22 Agustus 2023 adalah hari yang saya tunggu, karena saya dapat meluapkan semua rasa rindu tentang buku pada diskusi buku KBK. Meskipun panas matahari menembus genteng-genteng rumah hingga terasa di ubun-ubun kepala–yang terkadang membuat tubuh ini gerah dan ingin tidur siang di kamar dengan ditemani hembusan kipas angin yang berputar tanpa lelah–namun saya tetap antuasias pada diskusi KBK bersama member KLIP yang lainnya.
Saya bahkan menemukan banyak cerita buku baru yang mengejutkan dan membuat kita terbelalak tak percaya bahwa narasi dalam buku tersebut benar-benar sebuah fakta. Dari Kak Amie yang dengan tenang menyampaikan kisah miris Nawal El Saadawi hingga membuat mata saya berkaca-kaca sedih, lalu ada Kak Tami yang menceritakan dengan lembutnya tentang kisah epik Nh. Dini, sampai narasi Buya Hamka yang dikisahkan detil oleh Kak Dewi hingga saya terbawa arus dalam emosi yang tak dapat dideskripsikan lagi lewat kata. Apalagi ditambah juga diakhiri oleh Kak Oemi yang bercerita fiksi tapi mengkritisi kondisi sosial masyarakat negeri ini.
Beragam pemberontakan-pemberontakan dari yang kecil hingga yang besar di jalani setiap tokoh dalam cerita buku-buku yang dibagikan, hingga membuat kami belajar tentang penerimaan diri dan rasa syukur.
***
Catatan dari Penjara Perempuan
Diskusi KBK dibuka oleh Kak Amie melalui ceritanya tentang buku kumpulan memoar Nawal Al Saadawi selama di penjara yang ditulis langsung oleh Nawal, berjudul Catatan dari Penjara Perempuan.
Perlahan Kak Amie bercerita tentang siapa Nawal Al Saadawi dan apa yang diperjuangkan Nawal hingga ia dimasukkan penjara tanpa pemberitahuan dengan proses pengadilan selama berbulan-bulan, sampai pada pengalaman-pengalamannya yang mengerikan selama di penjara perempuan. Nawal menuliskan semua peristiwa yang dialaminya dengan menggunakan pensil alis.
Nawal Al Saadawi ini adalah seorang dokter sekaligus seorang aktifis perempuan yang sangat terkenal. Ia menulis banyak sekali pemikiran-pemikiran kritisnya pada masa pemerintahan Anwar Sadat sehingga ia dianggap mengancam dan dijebloskan penjara. Pemikiran-pemikiran yang ditulisnya berhubungan dengan perempuan, kekuasaan, dan budaya patriarki, serta mengenai penjara wanita yang merefleksikan keadaan sosio-kultural Mesir, seperti wanita pembunuh suami, pelacur, rentenir, dan sebagainya. Nawal menuliskan semua kisah perempuan dengan sangat memikat dan memengaruhi pembacanya.
Kak Amie juga menegaskan secara runut kenapa Nawal bisa bersikap seperti itu, dan bagaimana kondisi negeri Mesir pada masa tersebut. Ia juga menambahkan bagaimana Nawal bisa bebas dari penjara dan meninggalnya. Sebuah catatan yang pilu yang menggerakkan nurani untuk serta merta belajar tentang semangat bertahan hidup dan menjadi pribadi yang bersyukur.
Gunung Ungaran, Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya
Setelah Kak Amie yang membawa kita untuk merenung melalui kisah Nawal El Saadawi, ada Kak Tami yang tidak hanya menyampaikan perasaannya tentang karya terakhir Nh. Dini berjudul Gunung Ungaran, Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya, namun juga menceritakan keseluruhan isinya secara runut dan detil. Dimulai dari keinginan Nh. Dini yang tidak mau membebani anak dan tidak ingin merepotkan serta ingin hidup nyaman. Kak Tami juga mengulas kebiasaan dan keunikan tulisan Nh Dini.
Buku Gunung Ungaran ini merupakan seri kenangan Nh. Dini, mengisahkan tentang penulis yang memilih tinggal menetap di wisma Langen Werdasih yang berlokasi di Lerep, lereng Gunung Ungaran. Di sana, Nh. Dini hidup sebagai wanita mandiri dan pantang menyerah dalam menelurkan karya meski terkadang juga menjumpai ketidaknyamanan seperti sakit dan lainnya di usianya yang sepuh.
Kisah Kak Tami tentang Nh. Dini tidak hanya membuat kami makin bersemangat namun juga belajar bagaimana menulis yang memikat, karena Nh. Dini adalah salah satu penulis yang berhasil mengangkat tema-tema sederhana dan kenangan hidupnya dengan cara apik dan menarik.
Tak terasa waktu terus berjalan, meski panas diskusi semakin seru dan kak Tami menutup diskusi panjang siang dengan pengalaman-pengalamannya yang menyenangkan tentang buku-buku Nh. Dini.
Buya Hamka
Waktu menunjukkan jam 15.15 dan Kak Dewi mulai memperkenalkan buku yang dibagikannya yaitu Buya Hamka karya A. Fuadi. Diawali dengan cerita kak Dewi kenapa ia menyukai buku itu, bagaimana ia menemukan buku tersebut, hingga percakapan-percakapan yang ada di novel serta rasa bahagianya mmembaca deskripsi alam yang detil dari A. Fuadi, si penulis.
Tidak hanya itu, Kak Dewi juga menyampaikan rasa terharunya tentang perjuangan Buya Hamka dari kecil, kemudian pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Buya muda, hingga pada titik Buya menjadi tokoh besar yang ikhlas terhadap semua hal yang mendzaliminya.
Novel ini menceritakan sejarah Buya Hamka dari kecil hingga dewasa, beserta pemikiran-pemikirannya yang luar biasa yang ditulis dengan gaya bahasa novel, sehingga menurut Kak Dewi novel ini tidak hanya berhasil membuat kita menyelesaikannya karena bahasanya yang menarik, namun juga membuat kita belajar sejarah dari yang tidak tahu menjadi tahu.
Novel yang menurut saya sangat menginspirasi. Selain kita belajar, kita jadi lebih mengerti tentang pemikiran-pemikiran Buya Hamka yang mungkin tidak banyak orang mengetahui secara detil dan kak Dewi mengulasnya dengan runut dan lengkap.
Pasung Jiwa
Setelah kita terhanyut bersama Kak Amie, Kak Tami, dan Kak Dewi yang bercerita buku-buku berdasarkan fakta, ada kak Oemi yang sedikit berbeda. Ia mengulas novel karya Okki Madasari yang berjudul Pasung Jiwa. Meski ini kisah fiksi, namun cerita pada novel ini masih terkait juga tentang isu-isu pro kontra yang ada di negeri ini. Selain itu, novel ini juga memberikan suguhan realita tentang pentingnya pondasi parenting yakni komunikasi.
Novel Pasung Jiwa ini menceritakan pergulatan batin dua tokoh sentral yakni Sasana dan Jaka yang mempertanyakan kembali tentang makna kebebasan yang sesungguhnya di tengah kungkungan aturan yang ada. Dua tokoh ini dengan semua peristiwa mengerikan yang dialaminya, menjadikan mereka terus belajar mencari tahu makna kebebasan yang benar, dari pemberontakan kecil hingga membuat pilihan dan memaknainya kembali. Novel ini menjadikan kita sebagai pembaca belajar kembali apa yang harus dipahami, dimengerti, dan diperbaiki.
***
Meski diskusi sore itu panas, namun waktu telah menunjukkan pukul 17.00, yang artinya Pertemuan KBK selesai. Dengan berat, kami menyudahi pertemuan sore itu. Ada banyak pernyataan dan pertanyaan yang masih bergumul secara tiba-tiba dalam kepala saya. Tetapi saya belajar satu hal bahwa di dalam buku yang baik terdapat makanan yang baik untuk jiwa kita–seperti yang disampaikan Buya Hamka:
Membaca buku yang baik artinya kita memberikan makanan yang baik untuk rohani
Jangan lupa untuk bergabung pada Pertemuan KBK berikutnya yang dijadwalkan pada Selasa 26 September 2023!
0 Komentar